Rabu, 15 Mei 2013

KELEMAHAN UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 1997 DIREVISI KE UNDANG-UNDANG No. 32 TAHUN 2009

KELEMAHAN UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 1997 DIREVISI KE UNDANG-UNDANG No. 32 TAHUN 2009


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
 
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang yang mulai berlaku sejak Oktober 2009 dan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 ini menggantikan peran dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ini diyakini memiliki tingkat kelengkapan dan pembahasan yang lebih komprehensif jika dibandingkan dengan UU No 23 tahun 1997, ini dikarenakan masih banyak celah-celah hukum yang ditinggalkan oleh UU No 23 tahun 1997 tersebut. Salah satu hal yang paling dinanti dari penerapan UU No 32 tahun 2009 ini adalah pada konteks penyelesaian masalah pencemeran dan pengrusakan Lingkungan Hidup, tentang bagaimana bentuk penyelesaiannya sampai dengan berbagai ancaman pidana terhadap para pelanggarnya. Adanya penguatan pada UU terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Adanya "cacat" peraturan yang didalamnya ada ketidak jelasan merumuskan pasal-pasal. Sehingga UU Nomor 23 Tahun 1997 tidak dapat berlaku efektif. Serta adanya perubahan zaman lingkungan masyarakat.



BAB II
PERMASALAHAN


2.1 TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
  1. Mengetahui Peran Aktif dari Undang-Undang Lingkungan Hidup
  2. Memahami bentuk kelemahan dari Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 Th 1997
2.2 RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah maka penulis membatasi pada :
  1. Seperti apakah Peran Aktif dari Undang-Undang Lingkungan Hidup ?
  2. Bagaimana sistem perlindungan yang diberikan Undang-Undang Lingkungan Hidup No.23 Th 1997 ?
BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Undang-Undang Lingkungan Hidup
Undang-undang itu direvisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, selama 12 tahun digunakan, nyaris seperti macan ompong dalam proses hukum untuk menjerat pencemar lingkungan. Selama ini para pelaku pengerusakan lingkungan yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara atau yang didenda, hanya bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ada yang masuk penjara gara-gara pencemaran lingkungan, paling-paling hanya orang kelas teri, atau orang yang dikorbankan.
Salah satu kelemahan  pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah dalam hal proses hukum pencemar dan perusakan lingkungan. Undang-undang itu beserta turunannya, terlalu prosedural dalam menjerat pelaku pencemaran. Sehingga, secara hukum, seseorang yang melakukan pencemaran, sangat mudah membuktikan bahwa ia “tidak terbukti secara hukum melakukan kesalahan”. Prosedur pembuktian pencemaran lingkungan terlalu kompleks dan rumit.
Sebagai contoh kasus Teluk Buyat, dimana terjadi pencemaran oleh limbah tambang emas di Teluk Buyat. Kondisi nyata di lapangan, masyarakat sangat dirugikan, terjadi pencemaran, biota laut tercemar dan terganggu, serta ada masyarakat yang terganggu kesehatannya. Tapi,  bahwa pencemaran itu adalah akibat langsung dari penambangan emas, sangat sulit dibuktikan, karena prosedur pembuktian yang demikian rumit. Bila dalam prosedur itu ada yang tidak dilakukan sesuai prosedur, maka secara hukum, tidak ada pencemaran. Kita semua tahu, akhirnya pengadilan memutuskan, bahwa secara hukum, perusahaan penambangan emas di Buyat dibebaskan, karena tidak terbukti melakukan pencemaran.  Ini adalah hasil kerja keras para pengacara perusahaan penambangan emas untuk menunjukkan bahwa tidak ada bukti dan fakta hukum yang sah dalam proses pengadilan.
Hal yang hampir sama terjadi pada kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Kepolisian Daerah (Polda) Jatim, akhirnya mengeluarkan SP3, karena tidak mempunyai bukti-bukti hukum yang sah. Secara nyata di lapangan sedemikian banyak korban lumpur panas Lapindo, kerugian material secara langsung dan tidak langsung sudah tidak terhitung. Korban jiwa juga ada. Tapi di proses hukum, yang terjadi adalah argumentasi hukum dan prosedur yang berbelit. Para lawyer tahu betul celah kelemahan Undang-Undang Lingkungan Hidup, sehingga dengan  piawai mereka akan bisa membebaskan para tersangka pencemaran lingkungan. Para tersangka pencemar lingkungan, memilih membayar lawyer yang handal, ketimbang membayar denda lingkungan dan masuk penjara. Secara hukum hal tersebut sah-sah saja. Inilah kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, mudah-mudahan undang-undang yang baru bisa lebih tajam taringnya, sehingga para pencemar benar-benar tidak berkutik.

3.2 Implikasi UU No 32 Tahun 2009 Sinkronisasi Peran Pemerintah, Pelaku Usaha dan Masyarakat untuk Optimalisasi UU PPLH
 BUMI Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal tesebut patutnya disyukuri oleh setiap warga Indonesia dengan cara menjaga kekayaan alam tersebut baik itu sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, selain peran masyarakat, pemerintah pun memiliki peran yang tak kalah penting sehingga kekayaan alam yang ada benar-benar dipergunakan untuk kepentingan rakyat bukan hanya bagi kehidupan saat ini saja, tetapi juga bagi kehidupan generasi yang akan datang.
Lingkungan yang bersih dan sehat tentunya diidamkan oleh setiap orang, dan pada dasarnya setiap orang memang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana yang dicita-citakan dan tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang berbunyi :
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
 Untuk memberikan kepastian hukum tersebut dibutuhkan Undang-undang yang jelas sehingga seseorang sebagai personal maupun sebagai pelaku usaha memiliki batasan yang jelas mengenai hak dan kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pembaruan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tentu saja diharapkan dapat lebih melindungi lingkungan hidup sebagai hasil kerjasama antara masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah. Namun, pada kenyatannya, ternyata masih saja terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan oleh pelaku usaha.
Dengan demikian maka perlu adanya evaluasi penyebab terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan meskipun negara kita telah memiliki aturan yang bisa dibilang cukup sempurna. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan UUPLH ini, maka harus ada keseimbangan peran serta kesungguhan dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing subjek sehingga UU PPLH ini benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik.
Memang tidak ada yang sempurna, tapi pada dasarnya kita semua harus melaksanakan segala-sesuatu dengan sebaik-baiknya, masyarakat jangan hanya bisa menyalahkan pemerintah, atau sebaliknya pemerintah menyalahkan masyarakat karena kurangnya pengawasan terhadap pencemaran atau perusakan yang terjadi akibat dari suatu industri.
1.      Peran pemerintah terutama dalam hal pengawasan harus terus digalakkan.
Berbagai tugas pemerintah dengan jelas diatur dalam UU PPLH, dalam Bab IX diatur mengenai Tugas dan Wewenang Kepala Daerah, dan dalam Bab XII UU PPLH diatur mengenai pengawasan dan Sanksi Administratif. Aturan ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk melaksanakan tugasnya terutama dalam memberikan izin usaha. Penting pula bagi pemerintah untuk melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) sehingga perusahaan yang beroperasi adalah perusahaan yang benar-benar telah memenuhi aturan yang terdapat dalam UU PPLH.
Tidak hanya pada saat awal pendirian dan pemberian izin saja pemerintah memiliki peran yang penting, tetapi setelah pelaksanaan/pengoperasian industri tersebut pemerintah juga harus memerhatikan dengan sungguh-sungguh dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan industri.
Menjadi hal yang sangat penting, yaitu pemerintahan yang bersih yang tentunya diperlukan sehingga tidak ada celah bagi para pelaku usaha nakal untuk mengambil keuntungan bagi sebagian pihak saja sedangkan masyarakat malah dirugikan.

2.      Kemungkinan adanya  pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Dalam Pasal 68 UU PPLH disebutkan bahwa:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a.     memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b.     menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c.     menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Setiap pelaku usaha hendaknya memenuhi kewajiban sebagaimana terdapat dalam pasal tersebut, terutama dalam memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga pemerintah juga terbantu dalam pengawasan lingkungan dan dapat mempredikisi sejauh mana kerusakan atau pencemaran lingkungan yang mungkin terjadi sehingga tidak merugikan banyak pihak.
3.      Dilematis antara pencemaran dan pekerjaan.
Sudah tidak asing lagi, meskipun negara Indonesia yang memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah ternyata di dalamnya masih terdapat masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti itu, tentunya masyarakat membutuhkan pekerjaan sekedar untuk menambal perut.
Keberadaan suatu perusahaan industri di sekitar wilayah pemukiman tentunya memberikan efek positif untuk mengurangi pengangguran. Masyarakat di sekitar wilayah industri bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut sebagai ekses dari adanya Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu tanggung jawab perusahaan terhadap wilayah sekitarnya.
Tidak dapat dipungkiri, hal ini menjadi dilematis karena saat terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan industri tersebut masyarakat sekitar tidak mau menggunakan haknya untuk memberikan laporan kepada pemerintah, padahal dalam Pasal 65 ayat (6) UU PPLH disebutkan bahwa:
Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ketidakinginan masyarakat untuk melaporkan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup ini disebabkan masyarakat membutuhkan perusahaan industri tersebut sebagai mata pencaharian meskipun pada akhirnya masyarakat sendiri yang mengalami kerugian dari tercemarnya sumber daya di wilayah tempat tinggal mereka yang berefek pada banyaknya penyakit yang timbul. Kemiskinan dan kurangnya lahan pekerjaan menjadi salah satu penyebab tidak maksimalnya keberadaan UU PPLH ini.
Perlunya peningkatan kesadaran terhadap masyarakat berkaitan dengan terjadinya pencemaran atau perusakan akibat suatu kegiatan industri, bahwa pendapatan yang diperoleh tidaklah sebanding dengan kerugian yang akan diderita baik untuk saat ini maupun untuk saat yang akan datang karena pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak/tercemar memerlukan waktu yang tidak sebentar. Apabila kita perhatikan, banyak pencemaran yang mungkin terjadi di kawasan industri, tak hanya pencemaran tanah, air, udara pun bisa tercemar. Ketercemaran tersebut memungkinkan banyaknya penyakit yang timbul, misalnya saja penyakit kulit seperti gatal-gatal, diare akibat konsumsi air yang tidak bersih, pernafasan pun bisa terganggu dengan tercemarnya udara, yang menjadi korban tentunya bisa siapa saja.
4.      Memperkenalkan UU PPLH ini kepada masyarakat terutama bagi yang masih awam.
Masyarakat harus mengetahui adanya perlindungan dari pemerintah terhadap lingkungan hidup serta adanya sanksi bagi para pihak yang melakukan pelanggaran. Pengetahuan mengenai undang-undang ini sedikit demi sedikit bisa diperkenalkan dalam suatu sistem pendidikan maupun pengenalan kepada masyarakat melalui pemerintahan terkecil (RT/RW). Hal ini tentunya akan membantu pemerintah dalam pelaksanaan UU PPLH ini, ketika setiap orang semakin mengerti tentang adanya UU PPLH, maka tidak akan ada lagi pembodohan terhadap pihak-pihak yang kurang mengerti dan pencemaran lingkungan dapat dikendalikan.
Keseimbangan peranan merupakan hal yang penting dan juga menjadi penentu suksesnya eksistensi UU PPLH ini. Lingkungan hidup yang sehat tetap dapat tercipta, dan kegiatan berorientasi profit yang mungkin dapat mencemari lingkungan masih dapat berjalan dengan batasan baku mutu lingkungan.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Beragam hasil alam dapat dimanfaatkan oleh warga negaranya untuk memenuhi kebutuhannya. Seiring perkembangan zaman, manusia tidak hanya menggunakan hasil alam untuk menjaga kelangsungan hidupnya saja, akan tetapi manusia zaman sekarang cenderung memanfaatkan hasil alam secara maksimal untuk dikomersialisasikan demi mendapatkan keuntungan finansial. Dengan melihat fenomena tersebut, hukum harus berperan sebagai “body guard” alam melaui penerapan sanksi-sanksi yang dapat mencegah dan mengendalikan perusakan dan pencemaran lingkungan.

Dalam pranata hukum Indonesia, upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup telah dilakukan pemerintah dengan adanya undang-undang mengenai lingkungan hidup antara lain:
Ø  Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215 yang mulai berlaku tanggal 11 Maret 1982
Ø  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 68 yang mulai berlaku tanggal 19 September 1997
Ø  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 pada tanggal 3 Oktober 2009.
Dengan disahkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2009 (PPLH) sebagai pengganti Undang-Undang No.23 tahun 1997 besar harapan agar tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hidup semakin meningkat dan penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini semakin menunjukkan taringnya, karena penerapan undang-undang terdahulunya yaitu Undang-Undang No.23 tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan mulai dari semenjak diundangkannya banyak memiliki celah bagi pelaku perusakan lingkungan untuk berdalih jika digugat melakukan perusakan lingkungan.
Adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah :
1.      Dilihat dari pendayagunaan instrument hukum pendayagunaan instrument hukum lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama yang bersifat preventif seperti BML (Baku Mutu Lingkungan), AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan izin lingkungan, belum diatur dengan baik. Dari keseluruhan materi muatannya, ternyata UUPLH (UU no.23 th 1997) memberikan pengaturan yang sangat besar kepada tindak pidana lingkungan, sehingga UUPLH cenderung dinilai sebagai UU yang mengedepankan aspek represif, bukan pengelolaan lingkungan yang mengandung konotasi preventif.
Maka dapat dikatakan UUPLH yang mengedepankan aspek preventif membawa konsekuensi kurangnya perhatian terhadap lingkungan karena adanya ganti rugi, sanksi dan perbaikan atau pengembalian lingkungan hidup yang telah dirusak, padahal nyatanya, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan mudah karena untuk pemulihan lingkungan hidup memerlukan waktu yang lama. Ada baiknya jika dalam upaya penegakan hukum lingkungan terdapat keseimbangan dalam pendayagunaan instrument hukum, maka tanpa memandang aspek represif sebagai hal yang tidak berguna, akan tetapi memang sepatutnya dalam upaya pnegakan hukum lingkungan lebih mengedepankan aspek preventif dan sanksi pidana, perdata, ataupun administratifnya diperberat agar lingkungan hidup tidak semakin rusak.

2.      Pemberlakuan hukum peninggalan kolonial masih berlakunya hukum peninggalan colonial seperti HO.STB 1926 No. 226 yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan penerapannya seperti dipaksakan. Pengetahuan aparat penegak hukum masih sangat kurang memahami aslinya HO sehingga lebih menerapkan terjemahan, secara yuridis interpretasi terhadap terjemahan tersebut menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dan tidak menjamin kepastian hukum. Menurut Prof.Dr.Philipus M Hadjon, S.H, belajar dari terjemahan adalah merupakan hukum yang semu atau hukum liar. Hal yang demikian berdampak pada profesionalitas aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan lingkungan dan menindak pelanggaran terhadap UUPLH.
Adanya konflik norma dalam pasal 34 s.d pasal 38 UUPLH terdapat ketentuan mengenai strict diability, class action, dan legal standing yang merupakan sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan ketentuan pasal 39 UUPLH (tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku) menganut system hukum Eropa Continental.

3.      Dapat dikatakan bahwa antara hukum materiil dengan hukum formilnya terjadi konflik yang mana dalam hukum materiilnya menggunakan system hukum Anglo Saxon dan dalam penegakannya (hukum formilnya) menganut system hukum Eropa Continental, bagaimana bisa hukum lingkungan akan terlaksana dengan baik jika sudah demikian adanya. Hal tersebut juga mengakibatkan hakim dapat saja menolak perkara dengan alasan adanya perbedaan system hukum. Bentuk-bentuk hukum untuk menyelamatkan lingkungan hidup belum bisa dilaksanakan secara efektif dengan alasan karena adanya ketentuan pasal 39 UUPLH tersebut. Misalnya mengenai ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang mengatur mengenai pembuktian yakni pasal 1865 KUHperdata menyatakan bahwa siapa yang mendalilkan dialah yang membuktikan. Aturan tersebut merugikan lingkungan, dalam hal kasus pencemaran lingkungan oleh perusahaan besar yang merugikan masyarakat disekitarnya, jadi jika masyarakat menuntut perusahaan tersebut maka masyarakat pula yang harus membuktikan tindakan pencemaran tersebut. Hal itu sangat merugikan dan memberatkan masyarakat. Maka dengan ketentuan pasal 35 UUPLH mengenai tanggung jawab mutlak (stict diability), perusahaan yang kegiatannya menimbulkan kerugian terhadap lingkungan harus bertanggungjawab atas tindakannya tersebut. Tetapi seperti dijelaskan diatas, disini terdapat konflik norma dengan pasal 39 UUPLH.

4.      Penerapan UUPLH dalam iklim investasi Undang-Undang No.23 tahun 1997 ini secara substansi memang begitu multi tafsir sehingga mempengaruhi upaya penegakan hukum lingkungan. Selain itu secara struktural UUPLH ini memang kalah dibandingkan dengan kebijakan investasi yang lebih pro kepada kepentingan pemilik modal besar, sehingga menimbulkan konflik yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. (Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia )

5.      Proses hukum salah satu kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH) adalah dalam hal proses hukum pencemaran dan perusakan lingkungan. UUPLH beserta turunannya, terlalu prosedural dalam menjerat pelaku pencemaran. Sehingga, secara hukum, seseorang yang melakukan pencemaran, sangat mudah membuktikan bahwa ia “tidak terbukti secara hukum melakukan kesalahan”. Prosedur pembuktian pencemaran lingkungan terlalu kompleks dan rumit. Para lawyer mengetahui celah kelemahan UUPLH, sehingga dengan piawai mereka akan bisa membebaskan para tersangka pencemaran lingkungan. Para tersangka pencemar lingkungan, memilih membayar lawyer yang handal, ketimbang membayar denda lingkungan dan masuk penjara. Secara hukum hal tersebut sah-sah saja.

6.      Ditinjau dari KUHP dengan adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum dalam KUHP yang berkaitan dengan lingkungan hidup sudah tidak sesuai dengan perkembangan kejahatan lingkungan yang semakin kompleks dimana KUHP tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum sehingga menimbulkan celah hukum (loopholes) dalam pemberantasan tindak pidana lingkungan. Selain itu ancaman pidana dalam KUHP terkait dengan tindak pidana lingkungan tidak menganut double track system (sanksi pidana yang dijatuhkan selain memberikan efek jera juga harus sebagai sarana rehabilitasi). Di dalam KUHP terdapat rumusan delik yang berkaitan dengan lingkungan, rumusan tersebut terutama yang akan dilindungi ialah kesehatan dan nyawa manusia jadi, manusia adalah primer sedangkan lingkungan fisik adalah skunder. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan dan undang-undang penjabarannya, yang terutama dilindungi adalah lingkungan sedangkan manusia menjadi sekunder sebagai salah satu unsur didalamnya.


Pasal-pasal dalam KUHP itu adalah :
ü  Pasal 202 KUHP, “Mencemari sumur, pompa air, mata air dan seterusnya berbahaya bagi nyawa atau kesehatan manusia”.
ü  Pasal 203 KUHP, “Karena kelailaiannya mencemari sumur dan seterusnya itu”
ü  Pasal 204 KUHP, “Menjual, menyerahkan dan seterusnya bahan-bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan orang lain” Pasal 205 KUHP, “Karena kelalaiannya menyebabkan hal tersebut pada pasal 204”

3.3 Berbagai Kelemahan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pada dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang, olehnya itu, perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu. Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam, dan pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.
Bumi (alam) sebenarnya cukup untuk memenuhi hajat hidup seluruh manusia, seperti yang diucapkan oleh Mahatma Gandhi, bahwa “bumi cukup memenuhi kebutuhan umat manusia, tapi ia tidak cukup untuk memenuhi keinginan satu orang manusia yang serakah.” Namun keserakahan manusia terkadang mengabaikan aspek keseimbangan (equalibrium) yang menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan.

“Jika Pohon terakhir telah ditebang, Ikan terakhir telah ditangkap, Sungai terakhir telah mengering, Manusia baru sadar kalau uang tak dapat dimakan,” Untaian bahasa bijak orang Indian yang dipopulerkan oleh Greenpeace itu, sangat cocok mengambarkan kesereakahan dan apatisme manusia terhadap alam dan lingkungannya.

Sekarang ini, dengan merosotnya kualitas lingkungan di sertai ancaman global warming, masyarakat dunia mulai sadar bahwa apa yang pernah diungkapkan Mahatmah Gandhi dan pepatah bijak suku Indian tersebut, ditandai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan seperti dengan maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan kampanye lingkungan di berbagai belahan bumi, karena timbul kesadaran bahwa pada akhirnya kerusakan lingkungan akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan.
Jaringan hubungan timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat organis dan bukan organis serta kondisi yang ada dalam suatu lingkungan membentuk suatu ekosistem. Jaringan hubungan dalam ekosistem ini bisa tumbuh secara stabil apabila berbagai unsur dan zat dalam lingkungan ini berada dalam keseimbangan.
Hubungan yang sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, seyogyanya menimbulkan kesadaran akan pentingngnya keberlanjutan lingkungan hidup yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut perlu di atur dengan jelas, apalagi sebahagian besar negara di dunia ini menganut sistem atau mengklaim negaranya sebagai negara hukum.

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagi konsep universal, pada daratan implementasi ternyata memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh kesejarahan tadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Alquran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut Eropa Kontinental yang di namakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsepsocialist legality, dan konsep negara hukum pancasila (Ridwan HR,2006:1-2). Sebagai negara hukum, maka usaha penegakan hukum harus berdasar pada prinsip bahwa hukum harus tetap dipegang teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu negara hukum merupakan jaminan pengakuan akan hak-hak masyarakat.
Di Indonesia sendiri, dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsepsi negara hukum pada masa sekarang ini adalah sesuatu yang popular, bahwa konsep tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum Sejak merdeka para pendiri bangsa ini telah memikirkan pentingnya pemanfaatan lingkungan secara lestari dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) telah diatur dalam pasal 33 ayat (3), yaitu :” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran berarti harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ditekankan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus selaras dengan masalah sosial dan lingkungan. Hal ini tertuang dalam pasal 33 ayat(4) yaitu“ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Namun, hak atas lingkungan yang sehat dan baik baru diatur dalam sebuah UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia . Di salah pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar Manusia, dibawah bagian Hak untuk Hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945, dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.




BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
1.      Adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.

2.      Persoalan subtansial yang berkaitan dengan pendekatan atur dan awasi (command and control) Amdal maupun perizinan lemahnya regulasi audit lingkungan belum dijadikannya Amdal sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal. penormaan yang multi tafsir lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.

3.      Kedua masalah struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan maenstream dalam memandang lingkungan.

4.      Problem ketiga adalah problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.

5.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini tidak memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang

6.      Sulitnya dalam penegakan UU No. 23 Tahun 1997 karena tidak mengakomodasi
pendekatan ekonomi dan ekologi yang memberikan landasan pada pengelolaan
sumberdaya alam

7.      Belum dimuatnya asas/prinsip yang harus ada dalam pengelolaan lingkungan
hidup yang berdasarkan Good Sustainable Development Governance (GSDG) dan
Good Environmental Governance (GEG)


4.2 SARAN
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup hingga saat ini
setidaknya telah berusia 12 (dua belas tahun), dalam rentang waktu yang
cukup panjang tersebut, banyak pengalaman yang membuktikan bahwa
undang-undang ini tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan pengelolaan
lingkungan hidup yang ideal dikarenakan proses ekstraksi sumberdaya alam
secara serakah dan berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari segi preventif
(yuridis administratif), maupun yang bersifat represif (aspek kepidanaan dan
keperdataan).


DAFTAR PUSTAKA

Sari, Kartika. 06 Desember 2010, “Kelemahan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-uu-nomor-32-tahun-2009/, -Bandung.
Muliyawati, Novi. 31 Mei 2010, “Sinkronisasi Peran Pemerintah, Pelaku Usaha dan Masyarakat untuk Optimalisasi UU PPLH” www.mediaindonesia.com, (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung).
Silababan, Togar. 11 September 2009, “Lingkungan Hidup”, Posted Blogger, -Medan.
Machfud MD dan Andi Sudirman Hamsah, 2007
Henstien, Indra Mia. 21 Desember 2009, “Kelemahan UU No. 23 Tahun 1997”, Blogger Blawitrsedisme, -Denpasar, Bali.