KELEMAHAN UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 1997 DIREVISI KE UNDANG-UNDANG No. 32 TAHUN 2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang yang mulai berlaku sejak Oktober 2009 dan tercatat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 ini menggantikan
peran dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ini diyakini
memiliki tingkat kelengkapan dan pembahasan yang lebih komprehensif jika
dibandingkan dengan UU No 23 tahun 1997, ini dikarenakan masih banyak
celah-celah hukum yang ditinggalkan oleh UU No 23 tahun 1997 tersebut.
Salah satu hal yang paling dinanti dari penerapan UU No 32 tahun 2009
ini adalah pada konteks penyelesaian masalah pencemeran dan pengrusakan
Lingkungan Hidup, tentang bagaimana bentuk penyelesaiannya sampai dengan
berbagai ancaman pidana terhadap para pelanggarnya. Adanya penguatan
pada UU terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Adanya "cacat"
peraturan yang didalamnya ada ketidak jelasan merumuskan pasal-pasal.
Sehingga UU Nomor 23 Tahun 1997 tidak dapat berlaku efektif. Serta
adanya perubahan zaman lingkungan masyarakat.
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
- Mengetahui Peran Aktif dari Undang-Undang Lingkungan Hidup
- Memahami bentuk kelemahan dari Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 Th 1997
2.2 RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah maka penulis membatasi pada :
- Seperti apakah Peran Aktif dari Undang-Undang Lingkungan Hidup ?
- Bagaimana sistem perlindungan yang diberikan Undang-Undang Lingkungan Hidup No.23 Th 1997 ?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Undang-Undang Lingkungan Hidup
Undang-undang
itu direvisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup,
selama 12 tahun digunakan, nyaris seperti macan ompong dalam
proses hukum untuk menjerat pencemar lingkungan. Selama ini para pelaku
pengerusakan lingkungan yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara atau
yang didenda, hanya bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ada yang masuk
penjara gara-gara pencemaran lingkungan, paling-paling hanya orang kelas teri, atau orang yang dikorbankan.
Salah
satu kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah dalam
hal proses hukum pencemar dan perusakan lingkungan. Undang-undang itu
beserta turunannya, terlalu prosedural dalam menjerat pelaku pencemaran.
Sehingga, secara hukum, seseorang yang melakukan pencemaran, sangat
mudah membuktikan bahwa ia “tidak terbukti secara hukum melakukan kesalahan”. Prosedur pembuktian pencemaran lingkungan terlalu kompleks dan rumit.
Sebagai
contoh kasus Teluk Buyat, dimana terjadi pencemaran oleh limbah tambang
emas di Teluk Buyat. Kondisi nyata di lapangan, masyarakat sangat
dirugikan, terjadi pencemaran, biota laut tercemar dan terganggu, serta
ada masyarakat yang terganggu kesehatannya. Tapi, bahwa pencemaran itu
adalah akibat langsung dari penambangan emas, sangat sulit dibuktikan,
karena prosedur pembuktian yang demikian rumit. Bila dalam prosedur itu
ada yang tidak dilakukan sesuai prosedur, maka secara hukum, tidak ada
pencemaran. Kita semua tahu, akhirnya pengadilan memutuskan, bahwa
secara hukum, perusahaan penambangan emas di Buyat dibebaskan, karena
tidak terbukti melakukan pencemaran. Ini adalah hasil kerja keras para
pengacara perusahaan penambangan emas untuk menunjukkan bahwa tidak ada
bukti dan fakta hukum yang sah dalam proses pengadilan.
Hal
yang hampir sama terjadi pada kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Kepolisian Daerah (Polda) Jatim, akhirnya mengeluarkan SP3, karena tidak
mempunyai bukti-bukti hukum yang sah. Secara nyata di lapangan
sedemikian banyak korban lumpur panas Lapindo, kerugian material secara
langsung dan tidak langsung sudah tidak terhitung. Korban jiwa juga ada.
Tapi di proses hukum, yang terjadi adalah argumentasi hukum dan
prosedur yang berbelit. Para lawyer tahu betul celah kelemahan
Undang-Undang Lingkungan Hidup, sehingga dengan piawai mereka akan
bisa membebaskan para tersangka pencemaran lingkungan. Para tersangka
pencemar lingkungan, memilih membayar lawyer yang handal,
ketimbang membayar denda lingkungan dan masuk penjara. Secara hukum hal
tersebut sah-sah saja. Inilah kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997, mudah-mudahan undang-undang yang baru bisa lebih tajam taringnya, sehingga para pencemar benar-benar tidak berkutik.
3.2 Implikasi UU No 32 Tahun 2009 Sinkronisasi Peran Pemerintah, Pelaku Usaha dan Masyarakat untuk Optimalisasi UU PPLH
BUMI
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah yang merupakan
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal tesebut patutnya disyukuri oleh
setiap warga Indonesia dengan cara menjaga kekayaan alam tersebut baik
itu sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui, selain peran masyarakat, pemerintah pun
memiliki peran yang tak kalah penting sehingga kekayaan alam yang ada
benar-benar dipergunakan untuk kepentingan rakyat bukan hanya bagi
kehidupan saat ini saja, tetapi juga bagi kehidupan generasi yang akan
datang.
Lingkungan
yang bersih dan sehat tentunya diidamkan oleh setiap orang, dan pada
dasarnya setiap orang memang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana yang dicita-citakan dan
tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yang berbunyi :
Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
Untuk memberikan kepastian hukum tersebut dibutuhkan Undang-undang yang jelas sehingga seseorang sebagai personal maupun sebagai pelaku usaha memiliki batasan yang jelas mengenai hak dan kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup sebagai pembaruan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup tentu saja diharapkan dapat lebih
melindungi lingkungan hidup sebagai hasil kerjasama antara masyarakat,
pelaku usaha dan pemerintah. Namun, pada kenyatannya, ternyata masih
saja terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan oleh pelaku usaha.
Dengan
demikian maka perlu adanya evaluasi penyebab terjadinya perusakan dan
pencemaran lingkungan meskipun negara kita telah memiliki aturan yang
bisa dibilang cukup sempurna. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang
terdapat dalam pelaksanaan UUPLH ini, maka harus ada keseimbangan peran
serta kesungguhan dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing
subjek sehingga UU PPLH ini benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik.
Memang
tidak ada yang sempurna, tapi pada dasarnya kita semua harus
melaksanakan segala-sesuatu dengan sebaik-baiknya, masyarakat jangan
hanya bisa menyalahkan pemerintah, atau sebaliknya pemerintah
menyalahkan masyarakat karena kurangnya pengawasan terhadap pencemaran
atau perusakan yang terjadi akibat dari suatu industri.
1. Peran pemerintah terutama dalam hal pengawasan harus terus digalakkan.
Berbagai
tugas pemerintah dengan jelas diatur dalam UU PPLH, dalam Bab IX diatur
mengenai Tugas dan Wewenang Kepala Daerah, dan dalam Bab XII UU PPLH
diatur mengenai pengawasan dan Sanksi Administratif. Aturan ini menjadi
acuan bagi pemerintah untuk melaksanakan tugasnya terutama dalam
memberikan izin usaha. Penting pula bagi pemerintah untuk melaksanakan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta analisis mengenai dampak
lingkungan hidup (Amdal) sehingga perusahaan yang beroperasi adalah
perusahaan yang benar-benar telah memenuhi aturan yang terdapat dalam UU
PPLH.
Tidak
hanya pada saat awal pendirian dan pemberian izin saja pemerintah
memiliki peran yang penting, tetapi setelah pelaksanaan/pengoperasian
industri tersebut pemerintah juga harus memerhatikan dengan
sungguh-sungguh dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan industri.
Menjadi
hal yang sangat penting, yaitu pemerintahan yang bersih yang tentunya
diperlukan sehingga tidak ada celah bagi para pelaku usaha �nakal� untuk mengambil keuntungan bagi sebagian pihak saja sedangkan masyarakat malah dirugikan.
2. Kemungkinan adanya pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Dalam Pasal 68 UU PPLH disebutkan bahwa:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan
informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Setiap
pelaku usaha hendaknya memenuhi kewajiban sebagaimana terdapat dalam
pasal tersebut, terutama dalam memberikan informasi yang dibutuhkan
sehingga pemerintah juga terbantu dalam pengawasan lingkungan dan dapat
mempredikisi sejauh mana kerusakan atau pencemaran lingkungan yang
mungkin terjadi sehingga tidak merugikan banyak pihak.
3. Dilematis antara pencemaran dan pekerjaan.
Sudah
tidak asing lagi, meskipun negara Indonesia yang memiliki banyak
kekayaan alam yang melimpah ternyata di dalamnya masih terdapat
masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti itu,
tentunya masyarakat membutuhkan pekerjaan sekedar untuk menambal perut.
Keberadaan
suatu perusahaan industri di sekitar wilayah pemukiman tentunya
memberikan efek positif untuk mengurangi pengangguran. Masyarakat di
sekitar wilayah industri bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan
tersebut sebagai ekses dari adanya Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu tanggung jawab perusahaan terhadap wilayah sekitarnya.
Tidak
dapat dipungkiri, hal ini menjadi dilematis karena saat terjadi
perusakan atau pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan industri
tersebut masyarakat sekitar tidak mau menggunakan haknya untuk
memberikan laporan kepada pemerintah, padahal dalam Pasal 65 ayat (6) UU PPLH disebutkan bahwa:
“Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.
Ketidakinginan
masyarakat untuk melaporkan terjadinya pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup ini disebabkan masyarakat membutuhkan perusahaan
industri tersebut sebagai mata pencaharian meskipun pada akhirnya
masyarakat sendiri yang mengalami kerugian dari tercemarnya sumber daya
di wilayah tempat tinggal mereka yang berefek pada banyaknya penyakit
yang timbul. Kemiskinan dan kurangnya lahan pekerjaan menjadi salah satu
penyebab tidak maksimalnya keberadaan UU PPLH ini.
Perlunya
peningkatan kesadaran terhadap masyarakat berkaitan dengan terjadinya
pencemaran atau perusakan akibat suatu kegiatan industri, bahwa
pendapatan yang diperoleh tidaklah sebanding dengan kerugian yang akan
diderita baik untuk saat ini maupun untuk saat yang akan datang karena
pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak/tercemar memerlukan waktu
yang tidak sebentar. Apabila kita perhatikan, banyak pencemaran yang
mungkin terjadi di kawasan industri, tak hanya pencemaran tanah, air,
udara pun bisa tercemar. Ketercemaran tersebut memungkinkan banyaknya
penyakit yang timbul, misalnya saja penyakit kulit seperti gatal-gatal,
diare akibat konsumsi air yang tidak bersih, pernafasan pun bisa
terganggu dengan tercemarnya udara, yang menjadi korban tentunya bisa
siapa saja.
4. Memperkenalkan UU PPLH ini kepada masyarakat terutama bagi yang masih awam.
Masyarakat
harus mengetahui adanya perlindungan dari pemerintah terhadap
lingkungan hidup serta adanya sanksi bagi para pihak yang melakukan
pelanggaran. Pengetahuan mengenai undang-undang ini sedikit demi sedikit
bisa diperkenalkan dalam suatu sistem pendidikan maupun pengenalan
kepada masyarakat melalui pemerintahan terkecil (RT/RW). Hal ini
tentunya akan membantu pemerintah dalam pelaksanaan UU PPLH ini, ketika
setiap orang semakin mengerti tentang adanya UU PPLH, maka tidak akan
ada lagi pembodohan terhadap pihak-pihak yang kurang mengerti dan
pencemaran lingkungan dapat dikendalikan.
Keseimbangan
peranan merupakan hal yang penting dan juga menjadi penentu suksesnya
eksistensi UU PPLH ini. Lingkungan hidup yang sehat tetap dapat
tercipta, dan kegiatan berorientasi profit yang mungkin dapat mencemari lingkungan masih dapat berjalan dengan batasan baku mutu lingkungan.
Indonesia
merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Beragam hasil alam
dapat dimanfaatkan oleh warga negaranya untuk memenuhi kebutuhannya.
Seiring perkembangan zaman, manusia tidak hanya menggunakan hasil alam
untuk menjaga kelangsungan hidupnya saja, akan tetapi manusia zaman
sekarang cenderung memanfaatkan hasil alam secara maksimal untuk
dikomersialisasikan demi mendapatkan keuntungan finansial. Dengan
melihat fenomena tersebut, hukum harus berperan sebagai “body guard”
alam melaui penerapan sanksi-sanksi yang dapat mencegah dan
mengendalikan perusakan dan pencemaran lingkungan.
Dalam
pranata hukum Indonesia, upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup
telah dilakukan pemerintah dengan adanya undang-undang mengenai
lingkungan hidup antara lain:
Ø Undang-Undang
No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH) diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215 yang mulai berlaku tanggal
11 Maret 1982
Ø Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1997 Nomor 68 yang mulai berlaku tanggal 19 September 1997
Ø Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059 pada tanggal 3 Oktober 2009.
Dengan
disahkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2009 (PPLH) sebagai pengganti
Undang-Undang No.23 tahun 1997 besar harapan agar tingkat kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya lingkungan hidup semakin meningkat dan
penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini semakin menunjukkan
taringnya, karena penerapan undang-undang terdahulunya yaitu
Undang-Undang No.23 tahun 1997 memiliki beberapa kelemahan yang
menyebabkan mulai dari semenjak diundangkannya banyak memiliki celah
bagi pelaku perusakan lingkungan untuk berdalih jika digugat melakukan
perusakan lingkungan.
Adapun kelemahan-kelemahan tersebut adalah :
1. Dilihat
dari pendayagunaan instrument hukum pendayagunaan instrument hukum
lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama yang bersifat preventif
seperti BML (Baku Mutu Lingkungan), AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) dan izin lingkungan, belum diatur dengan baik. Dari
keseluruhan materi muatannya, ternyata UUPLH (UU no.23 th 1997)
memberikan pengaturan yang sangat besar kepada tindak pidana lingkungan,
sehingga UUPLH cenderung dinilai sebagai UU yang mengedepankan aspek
represif, bukan pengelolaan lingkungan yang mengandung konotasi
preventif.
Maka
dapat dikatakan UUPLH yang mengedepankan aspek preventif membawa
konsekuensi kurangnya perhatian terhadap lingkungan karena adanya ganti
rugi, sanksi dan perbaikan atau pengembalian lingkungan hidup yang telah
dirusak, padahal nyatanya, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan
mudah karena untuk pemulihan lingkungan hidup memerlukan waktu yang
lama. Ada baiknya jika dalam upaya penegakan hukum lingkungan terdapat
keseimbangan dalam pendayagunaan instrument hukum, maka tanpa memandang
aspek represif sebagai hal yang tidak berguna, akan tetapi memang
sepatutnya dalam upaya pnegakan hukum lingkungan lebih mengedepankan
aspek preventif dan sanksi pidana, perdata, ataupun administratifnya
diperberat agar lingkungan hidup tidak semakin rusak.
2. Pemberlakuan
hukum peninggalan kolonial masih berlakunya hukum peninggalan colonial
seperti HO.STB 1926 No. 226 yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan
penerapannya seperti dipaksakan. Pengetahuan aparat penegak hukum masih
sangat kurang memahami aslinya HO sehingga lebih menerapkan terjemahan,
secara yuridis interpretasi terhadap terjemahan tersebut menimbulkan
interpretasi yang berbeda-beda dan tidak menjamin kepastian hukum.
Menurut Prof.Dr.Philipus M Hadjon, S.H, belajar dari terjemahan adalah
merupakan hukum yang semu atau hukum liar. Hal yang demikian berdampak
pada profesionalitas aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan
lingkungan dan menindak pelanggaran terhadap UUPLH.
Adanya konflik norma dalam pasal 34 s.d pasal 38 UUPLH terdapat ketentuan mengenai strict diability, class action, dan legal standing yang merupakan sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan ketentuan pasal 39 UUPLH (tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku) menganut system hukum Eropa Continental.
Adanya konflik norma dalam pasal 34 s.d pasal 38 UUPLH terdapat ketentuan mengenai strict diability, class action, dan legal standing yang merupakan sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan ketentuan pasal 39 UUPLH (tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku) menganut system hukum Eropa Continental.
3. Dapat
dikatakan bahwa antara hukum materiil dengan hukum formilnya terjadi
konflik yang mana dalam hukum materiilnya menggunakan system hukum Anglo
Saxon dan dalam penegakannya (hukum formilnya) menganut system hukum
Eropa Continental, bagaimana bisa hukum lingkungan akan terlaksana
dengan baik jika sudah demikian adanya. Hal tersebut juga mengakibatkan
hakim dapat saja menolak perkara dengan alasan adanya perbedaan system
hukum. Bentuk-bentuk hukum untuk menyelamatkan lingkungan hidup belum
bisa dilaksanakan secara efektif dengan alasan karena adanya ketentuan
pasal 39 UUPLH tersebut. Misalnya mengenai ketentuan dalam Hukum Acara
Perdata yang mengatur mengenai pembuktian yakni pasal 1865 KUHperdata
menyatakan bahwa siapa yang mendalilkan dialah yang membuktikan. Aturan
tersebut merugikan lingkungan, dalam hal kasus pencemaran lingkungan
oleh perusahaan besar yang merugikan masyarakat disekitarnya, jadi jika
masyarakat menuntut perusahaan tersebut maka masyarakat pula yang harus
membuktikan tindakan pencemaran tersebut. Hal itu sangat merugikan dan
memberatkan masyarakat. Maka dengan ketentuan pasal 35 UUPLH mengenai
tanggung jawab mutlak (stict diability), perusahaan yang kegiatannya
menimbulkan kerugian terhadap lingkungan harus bertanggungjawab atas
tindakannya tersebut. Tetapi seperti dijelaskan diatas, disini terdapat
konflik norma dengan pasal 39 UUPLH.
4. Penerapan
UUPLH dalam iklim investasi Undang-Undang No.23 tahun 1997 ini secara
substansi memang begitu multi tafsir sehingga mempengaruhi upaya
penegakan hukum lingkungan. Selain itu secara struktural UUPLH ini
memang kalah dibandingkan dengan kebijakan investasi yang lebih pro
kepada kepentingan pemilik modal besar, sehingga menimbulkan konflik
yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
(Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia )
5. Proses
hukum salah satu kelemahan pokok Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
(UUPLH) adalah dalam hal proses hukum pencemaran dan perusakan
lingkungan. UUPLH beserta turunannya, terlalu prosedural dalam menjerat
pelaku pencemaran. Sehingga, secara hukum, seseorang yang melakukan
pencemaran, sangat mudah membuktikan bahwa ia “tidak terbukti secara
hukum melakukan kesalahan”. Prosedur pembuktian pencemaran lingkungan
terlalu kompleks dan rumit. Para lawyer mengetahui celah kelemahan
UUPLH, sehingga dengan piawai mereka akan bisa membebaskan para
tersangka pencemaran lingkungan. Para tersangka pencemar lingkungan,
memilih membayar lawyer yang handal, ketimbang membayar denda lingkungan
dan masuk penjara. Secara hukum hal tersebut sah-sah saja.
6. Ditinjau
dari KUHP dengan adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum dalam
KUHP yang berkaitan dengan lingkungan hidup sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kejahatan lingkungan yang semakin kompleks dimana KUHP
tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum sehingga menimbulkan celah
hukum (loopholes) dalam pemberantasan tindak pidana lingkungan. Selain
itu ancaman pidana dalam KUHP terkait dengan tindak pidana lingkungan
tidak menganut double track system (sanksi pidana yang dijatuhkan selain
memberikan efek jera juga harus sebagai sarana rehabilitasi). Di dalam
KUHP terdapat rumusan delik yang berkaitan dengan lingkungan, rumusan
tersebut terutama yang akan dilindungi ialah kesehatan dan nyawa manusia
jadi, manusia adalah primer sedangkan lingkungan fisik adalah skunder.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan dan undang-undang
penjabarannya, yang terutama dilindungi adalah lingkungan sedangkan
manusia menjadi sekunder sebagai salah satu unsur didalamnya.
Pasal-pasal dalam KUHP itu adalah :
ü Pasal 202 KUHP, “Mencemari sumur, pompa air, mata air dan seterusnya berbahaya bagi nyawa atau kesehatan manusia”.
ü Pasal 203 KUHP, “Karena kelailaiannya mencemari sumur dan seterusnya itu”
ü Pasal
204 KUHP, “Menjual, menyerahkan dan seterusnya bahan-bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan orang lain” Pasal 205 KUHP, “Karena
kelalaiannya menyebabkan hal tersebut pada pasal 204”
3.3 Berbagai Kelemahan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pada
dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan
seimbang, olehnya itu, perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan
itu. Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam, dan
pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan
pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.
Bumi
(alam) sebenarnya cukup untuk memenuhi hajat hidup seluruh manusia,
seperti yang diucapkan oleh Mahatma Gandhi, bahwa “bumi cukup memenuhi
kebutuhan umat manusia, tapi ia tidak cukup untuk memenuhi keinginan
satu orang manusia yang serakah.” Namun keserakahan manusia terkadang
mengabaikan aspek keseimbangan (equalibrium) yang menimbulkan
kemerosotan kualitas lingkungan.
“Jika
Pohon terakhir telah ditebang, Ikan terakhir telah ditangkap, Sungai
terakhir telah mengering, Manusia baru sadar kalau uang tak dapat
dimakan,” Untaian bahasa bijak orang Indian yang dipopulerkan oleh
Greenpeace itu, sangat cocok mengambarkan kesereakahan dan apatisme
manusia terhadap alam dan lingkungannya.
Sekarang
ini, dengan merosotnya kualitas lingkungan di sertai ancaman global
warming, masyarakat dunia mulai sadar bahwa apa yang pernah diungkapkan
Mahatmah Gandhi dan pepatah bijak suku Indian tersebut, ditandai dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan seperti
dengan maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan kampanye lingkungan di
berbagai belahan bumi, karena timbul kesadaran bahwa pada akhirnya
kerusakan lingkungan akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam
suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi yang
harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan hidup.
Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen
lingkungan hidup tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia
adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi
lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan
hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan
lingkungan.
Jaringan
hubungan timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat
organis dan bukan organis serta kondisi yang ada dalam suatu lingkungan
membentuk suatu ekosistem. Jaringan hubungan dalam ekosistem ini bisa
tumbuh secara stabil apabila berbagai unsur dan zat dalam lingkungan ini
berada dalam keseimbangan.
Hubungan
yang sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya,
seyogyanya menimbulkan kesadaran akan pentingngnya keberlanjutan
lingkungan hidup yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut perlu
di atur dengan jelas, apalagi sebahagian besar negara di dunia ini
menganut sistem atau mengklaim negaranya sebagai negara hukum.
Pemikiran
atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan berkembang
dalam situasi kesejarahan. Karena itu, meskipun konsep negara hukum
dianggap sebagi konsep universal, pada daratan implementasi ternyata
memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh-pengaruh kesejarahan tadi, disamping pengaruh falsafah bangsa,
ideologi negara dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan
praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara
hukum menurut Alquran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum
menurut Eropa Kontinental yang di namakan rechtsstaat, negara hukum
menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsepsocialist legality, dan
konsep negara hukum pancasila (Ridwan HR,2006:1-2). Sebagai negara
hukum, maka usaha penegakan hukum harus berdasar pada prinsip bahwa
hukum harus tetap dipegang teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu
negara hukum merupakan jaminan pengakuan akan hak-hak masyarakat.
Di
Indonesia sendiri, dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan dengan
tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsepsi negara hukum
pada masa sekarang ini adalah sesuatu yang popular, bahwa konsep
tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum Sejak merdeka
para pendiri bangsa ini telah memikirkan pentingnya pemanfaatan
lingkungan secara lestari dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD 1945) telah diatur dalam pasal 33 ayat (3), yaitu :”
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kemakmuran berarti harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang
maupun generasi yang akan datang.
Di
dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ditekankan bahwa
pembangunan ekonomi nasional harus selaras dengan masalah sosial dan
lingkungan. Hal ini tertuang dalam pasal 33 ayat(4) yaitu“ Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.
Namun,
hak atas lingkungan yang sehat dan baik baru diatur dalam sebuah UU
No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan
Hidup yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan
baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia . Di salah pasal pada Dekrasi
Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan
keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan
Kebebasan Dasar Manusia, dibawah bagian Hak untuk Hidup. Hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945,
dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan
masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu
dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi
dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Adanya
penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap
proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum
mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan.
2. Persoalan subtansial yang berkaitan dengan pendekatan atur dan awasi (command and control) Amdal
maupun perizinan lemahnya regulasi audit lingkungan belum dijadikannya
Amdal sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi
pelanggaran Amdal. penormaan yang multi tafsir lemahnya kewenangan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan
Hidup (PPLH) delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum multi
tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang
spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.
3. Kedua masalah struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan maenstream dalam memandang lingkungan.
4. Problem ketiga adalah problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.
5. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 ini tidak memberikan kewenangan yang luas kepada
Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi
dengan instansi lain. Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas
kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang
6. Sulitnya dalam penegakan UU No. 23 Tahun 1997 karena tidak mengakomodasi
pendekatan ekonomi dan ekologi yang memberikan landasan pada pengelolaan
sumberdaya alam
pendekatan ekonomi dan ekologi yang memberikan landasan pada pengelolaan
sumberdaya alam
7. Belum dimuatnya asas/prinsip yang harus ada dalam pengelolaan lingkungan
hidup yang berdasarkan Good Sustainable Development Governance (GSDG) dan
Good Environmental Governance (GEG)
hidup yang berdasarkan Good Sustainable Development Governance (GSDG) dan
Good Environmental Governance (GEG)
4.2 SARAN
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup hingga saat ini
setidaknya telah berusia 12 (dua belas tahun), dalam rentang waktu yang
cukup panjang tersebut, banyak pengalaman yang membuktikan bahwa
undang-undang ini tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan pengelolaan
lingkungan hidup yang ideal dikarenakan proses ekstraksi sumberdaya alam
secara serakah dan berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari segi preventif
(yuridis administratif), maupun yang bersifat represif (aspek kepidanaan dan
keperdataan).
setidaknya telah berusia 12 (dua belas tahun), dalam rentang waktu yang
cukup panjang tersebut, banyak pengalaman yang membuktikan bahwa
undang-undang ini tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan pengelolaan
lingkungan hidup yang ideal dikarenakan proses ekstraksi sumberdaya alam
secara serakah dan berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari segi preventif
(yuridis administratif), maupun yang bersifat represif (aspek kepidanaan dan
keperdataan).
DAFTAR PUSTAKA
Sari, Kartika. 06 Desember 2010, “Kelemahan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-uu-nomor-32-tahun-2009/, -Bandung.
Muliyawati, Novi. 31 Mei 2010, “Sinkronisasi Peran Pemerintah, Pelaku Usaha dan Masyarakat untuk Optimalisasi UU PPLH” www.mediaindonesia.com, (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung).
Silababan, Togar. 11 September 2009, “Lingkungan Hidup”, Posted Blogger, -Medan.
Machfud MD dan Andi Sudirman Hamsah, 2007
Henstien, Indra Mia. 21 Desember 2009, “Kelemahan UU No. 23 Tahun 1997”, Blogger Blawitrsedisme, -Denpasar, Bali.